Selasa, 05 Mei 2015

Perencanaan dan Pemanfaatan Media BK

     A.    LANGKAH-LANGKAH PERENCANAAN MEDIA BK
Sadiman (2002) menyatakan bahwa kegiatan belajar dan kegiatan layanan bimbingan dan  konseling di kelas pada dasarnya adalah proses komunikasi. Hal ini menunjukkan bahwa konselor atau guru pembimbing sebagai sumber informasi memiliki kebutuhan untuk menyampaikan informasi (materi bimbingan dan konseling) kepada siswa sebagai penerima informasi. Penyampaian informasi ini dapat melalui cara-cara biasa seperti berbicara kepada siswa, atau melalui perantara yang disebut sebagai media.
Briggs (Sadiman, dkk, 2002) menyatakan bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar dan atau menerima layanan bimbingan dan konseling. Definisi tersebut mengarahkan kita untuk menarik suatu simpulan bahwa media adalah segala jenis (benda) perantara yang dapat menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada orang yang membutuhkan informasi.
Kemudian Menurut Wina Sanjaya (2012: 57) media adalah perantara dari sumber informasi ke penerima informasi, contohnya video, televisi, komputer, dan lain sebagainya.
Lebih lanjut, dalam kegiatan layanan bimbingan dan  konseling dikenal pula istilah media bimbingan dan konseling. Suyitno (1997) menyatakan bahwa media bimbingan dan  konseling adalah suatu peralatan baik berupa perangkat lunak maupun perangkat keras yang berfungsi sebagai alat bantu bimbingan dan alat bantu mengajar. Sebagai alat bantu dalam kegiatan layanan bimbingan dan  konseling, maka media bimbingan ini akan disesuaikan dengan karakteristik masing-masing materi bimbingan dan konseling yang akan disajikan juga memperhatikan karakteristik siswa.
Media komunikasi yang dimaksud adalah media untuk membantu pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah. Beberapa media yang dimaksud adalah papan bimbingan, kotak masalah, Permainan Halma Manusia, Komputer (internet), peralatan audio seperti tape recorder dan peralatan visual seperti VCD/DVD.
Sri Lestari Soetojo  (2012) dalam penggunaan media bimbingan dan konseling seorang konselor perlu memperhatikan berbagai hal sebagai berikut ini:
1.      Analisis kebutuhan/permasalahan siswa
Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013:9), penyusunan program bimbingan dan konseling di sekolah dimulai dengan analisis kebutuhan (need asasmen). Need Asasmen digunakan untuk mengidentifikasi aspek-aspek kebutuhan peserta didik. Kegiatan asasmen meliputi hal-hal berikut ini:
a.    Asasmen lingkungan yang terkait dengan kegiatan mengidentifikasi harapan sekolah dan masyarakat, sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan program BK, kondisi dan kualifikasi konselor dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah.
b.    Asasmen kebutuhan peserta didik yang terkait dengan karakteristik peserta didik seperti aspek-aspek fisik. Kecerdasan, motif belajar, sikap dan kebiasaan belajar. Minat peserta didik, masalah yang dialami, kepribadian dan tugas perkembangannya. Hasil dari need asasmen direkap, dianalisis dan diinterpretasi dan diadministrasikan sehingga dapat dijadikan bahan masukan dalam perencanaan media BK yang akan digunakan.
2.      Penentuan tujuan yang akan dicapai
Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013: 11),  rumusan tujuan yang akan dicapai adalah perilaku yang harus dikuasai oleh peserta didik setelah memperoleh layanan BK. Tujuan hendaknya dirumuskan secara jelas dan tujuan tersebut dapat tercapai melali pelayanan konseling.
3.      Analisis situasi dan kondisi sekolah
4.      Penentuan jenis kegiatan yang akan dilakukan
5.      Penentuan personel-personel yang akan melaksanakan
6.      Perkiraaan biaya yang dimiliki sekolah
Yaitu memperkirakan banyak sedikitnya biaya yang dibutuhkan untuk membuat media yang akan dipakai. dalam membuat media sebaiknya menggunakan biaya yang tidak mahal dan bisa dijangkau oleh semua siswa.
7.      Mengantisipasi kemungkinan hambatan dalam penggunaan media bimbingan dan konseling
8.      Waktu dan tempat untuk digunakannya media bimbingan dan konseling.
Selanjutnya, menurut Muhammad Rohman dan Sofan Amri (2013: 122), langkah-langkah dalam pemilihan media pembelajaran ada 6 , yaitu:
1.      Menganalisis kebutuhan dan karakteristik siswa
Kebutuhan dalam proses belajar mengajar adalah kesenjangan antara apa yang dimiliki siswa dengan apa yang diharapkan. Contoh jika kita mengharapkan siswa dapat melakukan shalat dengan baik dan benar, sementara mereka baru bisa takbir saja maka perlu dilakukan latihan untuk rukuk, sujud dan sebagainya.
Setelah kita menganalisis kebutuhan  siswa, maka kita selanjutnya kita menganalisis karakteristik siswa, baik menyangkut kemampuan pengetahuan atau keterampilan yang telah dimiliki siswa sebelumnya. Cara mengetahuinya bisa dengan tes atau dengan yang lainnya. Langkah ini dapat disederhanakan dengan cara menganalisis topik-topikmateri ajar yang dipandang sulit.dan karenanya memerlukan bantuan media.
Pada langkah ini dapat pula ditentukan ranah tujuan pembelajaran yang hendak dicapai, termasuk rangsangan indera mana yang diperlukan (audio, visual, gerak atau diam).
2.      Merumuskan tujuan instruksional (instructional objective) dengan operasional dan khas
Ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan yaitu sebagai berikut:
a.       Tujuan instruksional harus berorientasi kepada siswa.
Artinya tujuan instruksional ini harus benar-benar menyatakan adanya perilaku siswa yang dapat dilakukan atau diperoleh setelah proses belajar dilakukan.
b.      Tujuan harus dinyatakan dengan kata kerja yang operasional.
Artinya kata kerja itu menunjukkan suatu perilaku atau perbuatan yang dapat diamati atau diukur. Contoh kata kerja operasional “ mengidentifikasikan sedangkan kata kerja tidak operasionalnya mengerti”.
3.      Merumuskan butir-butir materi secara  terperinci yang mendukung tercapainya tujuan
Penyusunan rumusan butir-butir materi adalah dapat dilihat dari sub kemampuan atau keterampilan yang dijelaskan dalam tujuan khusus pembelajaran, sehingga materi yang disusun adalah dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan dari kegiatan proses belajar mengajar. Setelah daftar butir-butir materi dirinci maka langkah selanjutnya adalah mengurutkannya dari yang sederhana ke yang rumit.


4.      Mengembangkan arat pengukur keberhasilan
Alat pengukur harus dikembangkan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dari materi-materi pembelajaran yang disajikan. Bentuk alat pengukurannya bisa dengan tes, pengamatan, penugasan atau checklist perilaku.
5.      Menulis naskah media
Naskah media adalah bentuk penyajian materi pembelajaran melalui media rancangan yang merupakan penjabaran dari pokok-pokok materi yang telah disusun secara baik seperti yang telah dijelaskan tadi. Supaya materi pembelajaran itu dapat disampaikan melalui media, maka materi tersebut perlu dituangkan dalam tulisan atau gambar yang kita sebut naskah program media.
Naskah program media adalah sebagai penuntun dalam memproduksi media. Artinya menjadi penuntun dalam mengambil gambar dan merekam suara, karena naskah berisi urutan gambar dan grafis yang perlu diambil oleh kamera atau bunyi dan suara yang harus direkam.
Tahapan dalam pembuatan atau penulisan naskah adalah berawal dari adanya ide atau gagasan yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran. Selanjutnya pengimpulan data dan informasi, penulisan sinopsis dan treatment, penulisan naskah, pengkajian naskah atau revisi naskah sampai naskah siap dipresentasikan.


6.      Mengadakan tes atau  uji coba dan revisi  
Tes atau uji coba dapat dilakukan baik melalui perseorangan atau melalui kelompok kecil atau juga melalui tes lapangan, yaitu dalam proses pembelajaran yangs sesungguhnya dengan menggunakan media yang dikembangkan. Sedangkan revisi adalah kegiatan untuk memperbaiki hal-hal yang dianggap perlu mendapatkan perbaikan atas hasil dan tes.

     B.     LANGKAH-LANGKAH PEMANFAATAN MEDIA BK
Manfaat yang dapat diperoleh melalui penggunaan media itu sendiri (Latuheru, 1988: 23-24) yaitu antara lain :
1.      Dapat membuat proses belajar mengajar menjadi lebih menarik dan lebih interaktif karena penggunaan media dapat meningkatkan rasa ingin tahu, sikap positif dan motivasi belajar siswa.
2.      Dapat mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera karena rumit dapat digunakan untuk memanipulasi objek dan pariwisata antara lain :
a.       Obyek yang berbahaya, yang terlalu besar, terlalu kecil, terlalu rumit, dapat dipelajari melalui gambar atau model dengan memperkecil yang berukuran besar, menyederhanakanyang rumit atau mengatur gerakan yang terlalu cepat atau terlalu lambat.
b.      Peristiwa dan prosedur yang perlu diamati secara berulang-ulang dalam mempelajarinya dapat direkam, difoto, dan ditampilkan kembali melalui rekaman.
c.       Dapat memperjelas, menyeragamkan dan mengefesienkan penyajian materi pembelajaran dengan dapatnya media disiapkan terlebih dahulu, banyak hal yang dapat dipertimbangkan dan dilakukan untuk membuat penyajian materi pembelajaran lebih jelas, lebih sistematis dan lebih efesien.
Manfaat lain yang dapat diperoleh dengan penggunaan media pembelajaran adalah :
a.    Menigkatkan produktifitas pendidikan
b.    Memungkinkan terlaksananya pembelajaran yang sifatnya lebih individual
c.    Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran
d.   Lebih memantapkan pembelajaran dengan menggunakan berbagai jenis media yang dapat menyajikan informasi atau materi pembelajaran secara lebih kongkrit
e.    Memungkinkan belajar secara seketika, karena dengan media dapat memberikan pengalaman langsung bagi seseorang tanpa harus terikat atau tergantung pada satu
f.     Memungkinkan penyajian untuk jangkauan lebih luas, pengkajian untuk objek atau peristiwa penyajian untuk sesuatu yang sulit dijangkau oleh indera kita, hal ini dilakukan melalui penggunaan media elektronika dan media massa.


Sedangkan Sudjana, dkk. (2002:2) menyatakan tentang tujuan pemanfaatan media adalah :
a.       Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menimbulkan motivasi
b.      Bahan pelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami
c.       Metode mengajar akan lebih bervariasi, dan
d.      Siswa akan lebih banyak melakukan kegiatan belajar.

Menurut Erlinna tahun 2013 langkah-langkah pemanfaatan media adalah sebagai berikut:
1.      Persiapan sebelum menggunakan media
a.       Mempelajari petunjuk penggunaan media yang akan digunakan atau mungkin diperlukan buku-buku khusus tentang cara penggunaan media yang akan digunakan tersebut, terutama bila dibutuhkan perangkat keras seperti berbagai jenis pesawat proyektor (media elektronik). Periksalah voltase alat untuk disesuaikan dengan listrik setempat sebelum menghidupkan alat . Setelah itu , ikuti pentunjuk-petunjuk khusus tiap alat.
Misalnya OHP ada petunjuk khusus penempatan layer, pemakaian pesawat yang menghemat lampu OHP , cara meletakkan alat , tempat berdiri guru, dll.
b.      Semua peralatan yang akan digunakan perlu disiapkan sebelumnya, sehingga dalam pelaksanaan pembelajaran tidak akan terganggu oleh hal-hal yang bersifat teknis.
Perhatikan pengaturan ruang maupun pebelajar , bila media akan digunakan secara kelompok, penempatan media diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan semua pebelajar untuk mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik.
2.      Pelaksanaan penggunaan media
Pada saat kegiatan belajar dengan menggunakan media berlangsung, hendaknya dijaga agar suasana tetap terjaga . Keadaan tenang tidak berarti pebelajar harus duduk diam , yang penting perhatian pebelajar tetap terjaga.
Bila hendak menggunakan pesawat proyektor yang memerlukan kegelapan ruang , usahakan agar siswa masih dapat menulis , sehingga masih mungkin membuat catatan yang perlu . Misalnya dalam proses pembelajaran pengajar masih perlu menambahkan penjelasan yang harus ditulis dipapan tulis atau di transparansi , usahakan agar siswa tidak terhalang oleh posisi berdiri pengajar.
3.      Evaluasi    
Tahap ini merupakan tahap penyajian apakah tujuan pembelajaran telah tercapai, selain untuk memantapkan pemahaman materi yang disampaikan melalui media. Untuk itu perlu disediakan tes yang harus dikerjakan oleh pebelajar sebagai umpan balik . Kalau ternyata tujuan belum tercapai, maka pengajar perlu mengulangi sajian program media tersebut


e.       Tindak lanjut
             Dari umpan balik yang diperoleh , pengajar dapat meminta siswa untuk memperdalam sajian dengan berbagai cara , misalnya : diskusi tentang hasil tes , mempelajari referensi dan membuat rangkuman , melakukan suatu percobaan , observasi dll.



KEPUSTAKAAN

Arief S. Sadiman, dkk. 2002. Media Pendidikan : Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Erlinna. 2013. langkah-langkah pemanfaatan media (online). https://erlinna.wordpress.com/pengetahuan/101-2/. Diakses 23 Maret 2015.
John D. Latuheru . 1988. Media pembelajaran dalam proses belajar-mengajar masa kini. Jakarta: P2LPK.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Modul implementasi program BK dalam kurikulum 2013.
Muhammad Rohman dan Sofan Amri . 2013. Strategi dan Desain Pengembangan Sistem Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
Wina Sanjaya. 2011. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
Wina Sanjaya. 2012. Media Komunikasi Pembelajaran. Jakarta: Kencana.

Bimbingan dan Konseling (Logo, Motto, Lagu Logo Konseling)



Logo Konselor



Motto Bimbingan dan Konseling

Di sekolah MANTAP
Di luar sekolah SIGAP
Dimana-mana SIAP


Lagu Logo Konseling


Lingkaran besar, lingkaran kecil, menjadi satu
Lingkaran besar, lingkaran kecil, menjadi satu

Garis vertikal, garis mendatar, menjadi satu
Garis vertikal, garis mendatar, menjadi satu

Keempat unsur, keempat unsur, menjadi satu

Bulatan lengkap, paduan mantap
Logo konseling

Makalah Perilaku Menyontek dan Upaya Penanggulangannya

MAKALAH
DASAR LOGIKA DAN PENULISAN ILMIAH
PERILAKU MENYONTEK DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA






Oleh:
MERI ANDANI
1300335/2013



BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2014



KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan tuntunan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang perilaku menyontek dan upaya penanggulangannya tanpa ada halangan apapun sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Makalah ini di tulis bertujuan untuk memenuhi tugas Dasar Logika dan Penulisan Ilmiah.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan, demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis mohon maaf apabila dalam makalah ini banyak kesalahan. Semoga bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi penbaca.



Padang, 8 Juni 2014

Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.............................................................................................1
B.     Rumusan Masalah........................................................................................2
C.     Tujuan..........................................................................................................3
BAB II MENYONTEK DI LINGKUNGAN PELAJAR
A.    Pengertian Perilaku Menyontek...................................................................4
B.     Gejala dan Bentuk-bentuk Menyontek.........................................................6
C.     Penyebab Perilaku Menyontek...................................................................16
D.    Dampak Perilaku Menyontek.....................................................................30
BAB III UPAYA PENANGGULANGAN PERILAKU MENYONTEK
A.    Diri Sendiri.................................................................................................34
B.     Orang Tua...................................................................................................36
C.     Guru............................................................................................................37
D.    Sekolah.......................................................................................................38
E.     Guru BK atau Konselor..............................................................................39
BAB IV PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................................43
B.     Saran...........................................................................................................45
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Menyontek merupakan hal yang sudah tidak asing lagi. Perilaku menyontek  sering di sebut ketidakjujuran akademis. Menyontek sudah terjadi sejak bertahun-tahun yang lalu. Saat ini perilaku menyontek tidak hanya terjadi pada jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA saja,  bahkan sampai pada perguran tinggi dan juga pada tingkat sekolah pascasarjana. Baik itu di kota maupun di desa dan di sekolah maju ataupun sekolah yang biasa-biasa saja. Perilaku menyontek tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara lainnya seperti Amerika, Australia, dan Eropa.
Berbicara tentang menyontek, mungkin akan banyak memunculkan pertanyaan. Kenapa menyontek itu bisa terjadi? Apa dampak bagi pelajar yang sudah terbiasa menyontek? Kenapa perilaku menyontek itu tidak dapat dihilangkan dan bahkan sudah menjadi tradisi?
Setiap individu atau pelajar menginginkan prestasi belajar yang baik. Karena keinginan untuk berprestasi tersebut, segala cara pun dilakukan baik itu cara positif maupun negatif. Cara positifnya bisa melalui belajar dengan tekun dan jujur serta percaya diri saat mengerjakan ujian atau tes akademik lainnya. Sedangkan cara negatifnya adalah dengan menyontek. Selain keinginan untuk berprestasi, masih banyak lagi alasan yang menyebabkan seseorang  menyontek. Seperti ingin menghindari kegagalan, tekanan dari teman sebaya maupun dari orang tua, dan tidak percaya diri ketika mengikuti ujian. Siswa juga mempersepsi bahwa prestasi itu adalah sebuah keberuntungan dan mempersepsi menyontek merupakan hal yang sudah biasa.
Menyontek dapat juga terkait dengan pembentukan kode moral. Menurut teori perkembangan moral Kohlberg, perilaku menyontek lebih terkait dengan masalah pembentukan Kode Moral (Dody Hartanto, 2012:5). Menyontek dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Menyontek dapat mengikis pribadi jujur dalam diri seorang pelajar, dapat menghambat seorang pelajar mengoptimalkan kemampuannya dalam belajar dan memperoleh hasil belajar. Perilaku menyontek juga dapat menyebabkan ketidakadilan pada proses penilaian. Apakah nilai yang di dapat dari hasil menyontek itu bisa menjamin dan dapat digunakan untuk masa depan pelajar tersebut?
Pelajar yang telah terbiasa melakukan perilaku menyontek akan sangat sulit untuk meninggalkannya karena sudah tidak ada lagi rasa takut di dalam dirinya. Menyontek dapat juga dikatakan sebagai suatu tradisi atau kebiasaan yang tak pernah hilang. Hal ini dapat terjadi karena masalah menyontek tidak hanya berasal dari lingkungan sekolah saja tetapi bisa berasal dari lingkungan sosialnya seperti keluarga, saudara dan teman sebaya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian perilaku menyontek?
2.      Seperti apakah gejala dan bentuk menyontek itu?
3.      Apa saja penyebab seseorang menyontek?
4.      Apakah dampak yang terjadi pada orang yang menyontek?
5.      Bagaimana upaya penanggulangan perilaku menyontek baik itu dari diri sendiri, guru, orang tua, guru BK atau konselor?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian perilaku menyontek.
2.      Untuk mengetahui gejala dan bentuk menyontek.
3.      Untuk mengetahui penyebab seseorang menyontek.
4.      Untuk mengetahui dampak yang terjadi pada orang yang menyontek.
5.      Untuk mengetahui upaya penanggualangan perilaku menyontek baik itu dari diri sendiri , guru, orang tua, dan guru BK atau konselor.


BAB II
MENYONTEK DI LINGKUNGAN PELAJAR
A.    Pengertian Perilaku Menyontek
Perilaku merupakan respon terhadap stimulus yang mengenainya. Perilaku tersebut tidak timbul dengan sendirinya tetapi sebagai akibat dari adanya stimulus atau rangsangan yang mengenai organisme atau individu itu (Bimo Walgito, 2003:43).
Rooter (dalam Zulkaida dkk, 2007:13) menyimpulkan perilaku merupakan suatu fungsi dari harapan (tindakan yang diberikan akan menghasilkan perilaku reword, berupa hadiah dan hukuman), dan nilai sehingga diasmumsikan orang berperilaku tertentu untuk memperoleh hadiah dengan nilai tinggi dan menghindari hukuman yang sangat tidak menyenangkan. Menyontek berasal dari kata dasar “sontek” yang berarti mengutip atau menjiplak. Mengutip itu merupakan menyalin kembali suatu tulisan, sedangkan menjiplak merupakan menulis atau menggambar dikertas yang dibawahnya diletakkan kertas yang sudah bertulisan dan bergambar.
Menyontek merupakan sebuah kecurangan yang dilakukan oleh seseorang dalam mengerjakan tugas dan ujian, baik itu di sekolah, di perguruan tinggi, maupun di tempat yang lainnya. Perilaku menyontek juga dapat diartikan sebagai penipuan atau melakukan perbuatan tidak jujur.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Purwadarminta, menyontek adalah mencontoh, meniru, atau mengutip tulisan, pekerjaan orang lain sesuai dengan yang aslinya.
Setiap orang ingin mendapatkan kebarhasilan seperti keberhasilan di dalam belajar. Untuk memperoleh keberhasilan tersebut seseorang sering kali menggunakan cara-cara yang tidak jujur.
Dalam menyontek seseorang melakukan praktek kecurangan dengan bertanya, memberi informasi, atau membuat catatan untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Keuntungan tersebut di peroleh tanpa mempertimbangkan aspek moral dan kognitif. Sehingga kecurangan tersebut dapat merugikan tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga dapat merugikan orang lain.
Plagiarisme sering juga dikaitkan dengan perilaku menyontek. Yang mana plagiarisme tersebut merupakan bagian dari perilaku menyontek, akan tetapi tidak semua perilaku menyontek itu adalah plagiat. Palgiarisme diartikan mengambil atau menggunakan kata atau ide dari pekerjaan orang lain.
Perilaku menyontek yang dianggap serius diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Plagiat.
2.      Membuat atau memalsukan karya yang telah dikerjakan atau dilakukan orang lain.
3.      Menyalin beberapa kalimat atau materi tanpa izin dari orang yang bersangkutan.
Dengan adanya kemajuan dan kecanggihan teknologi pada zaman modern ini, perilaku menyontek semakin mudah dilakukan oleh kalangan peserta didik maupun orang yang lainnya. Hal tersebut merupakan salah satu dampak negatif dari kecanggihan teknologi karena tidak digunakan sesuai dengan yang semestinya.
Menyontek ini sering kali terjadi karena siswa menilai bahwa pelajaran-pelajarannya memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, seperti pelajaran fisika yang mempunyai rumus yang banyak.
B.     Gejala dan Bentuk-bentuk Menyontek
1.      Gejala Menyontek
a.       Prokrastinasi dan Self-efficacy
Prokrastinasi merupakan perilaku yang suka menunda-nunda tugas penting. Prokrastinasi menjadi gejala yang paling sering ditemui pada siswa yang menyontek. Hal ini terjadi karena, siswa yang diketahui menunda-nunda pekerjaan memiliki kesiapan yang rendah dalam mengahadapi ujian. Siswa yang menunda-nunda pekerjaan pada akhirnya akan memeiliki pengetahuan yang rendah mengenai ujian yang dihadapi dan akan terdorong untuk menyontek.
Self-efficacy merupakan kepercayaan seseorang tentang kemampuan diri dalam bertindak. Self-efficacy juga dapat dimaknai sebagai keyakinan diri seseorang dalam menyelesaikan suatu tugas atau permasalahan.
Menurut Bandura (1994) self-efficacy menentukan bagaimana seseorang merasa, berfikir, memotivasi diri sendiri dan berperilaku. Jadi, self-efficacy ini sangat penting dimiliki oleh seorang siswa, terutama saat mengerjakan ujian. Dengan adanya keyakinan pada kemapuan diri maka hal tersebut akan mempengaruhi kinerja siswa dalam mencapai keberhasilan di dalam ujian.
Seorang siswa yang memiliki self-efficacy  yang baik, ketika dalam menghadapi ujian akan memiliki pengharapan akan nilai yang bagus dan hasil yang memuaskan dengan mempersiapkan diri sebelum dilakukannya ujian. Sebaliknya, bagi siswa yang mempunyai self-efficacy yang rendah pada saat menghadapi ujian akan merasakan perasaan cemas , menunjukkan sikap yang tidak tenang karena tidak mampu untuk menyelesaikan soal-soal ujian, sehingga siswa tersebut akan merasa putus asa dalam menghadapi rintangan saat ujian dilaksanakan dan akhirnya memutuskan untuk menyontek sebagai alternatif terakhir.
Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil studi yang dilakukan oleh (Murdock, Hale, & Weber, 2001) di sekolah menengah atas yang menemukan bahwa keyakinan diri yang rendah menjadi salah satu indikator munculnya perilaku menyontek. Selanjutnya dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Clara Maradina (2008) diketahui bahwa adanya hubungan negatif yang signifikan antara self-efficacy dalam mengahadapi ujian dengan kecenderungan menyontek pada mahasiswa semester akhir Fakultas Psikologi Ubaya.
b.      Kecemasan yang Berlebihan
Kecemasan ialah suatu keadaan atau kondisi emosi yang tidak menyenangkan, dan merupakan pengalaman yang samar-samar disertai dengan perasaan yang tidak berdaya dan tidak menentu (Lazarus, 1978; dalam Hartanti dan Boy Soedarmadji, 2013:84).
Biasanya kecemasan yang normal disebut khawatir atau was-was, yaitu rasa takut yang tidak jelas, tetapi terasa sangat kuat (Sarlito Wirawan Sarwono, 2012:134).
Kecemasan yang berlebihan pada siswa memberikan stimulus pada otak untuk tidak dapat bekerja sesuai dengan kemampuanya. Karena keadaan ini, siswa terdorong untuk melakukan perilaku menyontek demi ketenangan dirinya. Calabrese & Cochran berpendapat bahwa kecemasan ini muncul karena katakutan mendapatkan kegagalan dan adanya ekspektasi siswa untuk sukses yang terlalu tinggi (Whitley, 1998; Kristin Voelkl Finn, 2004).
Studi yang dilakukan oleh Malinowski & Smith (1985, dalam Dody Hartanto, 2012:7) memaparkan bahwa kecemasan yang berlebihan pada saat tes mengakibatkan seseorang menyontek. Kecemasan ini memang kerap kali terlihat pada siswa yang akan mengahadpi ujian.
c.       Motivasi Belajar dan Berprestasi
Siswa yang memiliki motivasi berprestasi yang rendah maka akan menjadi hal yang dapat mendorong siswa untuk menyontek. Siswa yang memiliki motivasi berprestasi akan berusaha menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang diberikan kepadanya malalui usahanya sendiri dengan sebaik-baiknya. Siswa ini sangat menyukai tantangan dan berbagai ujian yang diberikan kepadanya.
Siswa yang cenderung memiliki motivasi belajar yang rendah akan menyelesaikan pekerjaan yang diberikan kepadanya dengan apa adanya dan lebih memilih untuk meminta bantuan dari orang lain. Siswa yang memiliki motivasi belajar yang rendah ini juga akan memilih tugas atau pekerjaan yang tidak memiliki tingkat kesulitan tinggi dan yang mudah diselesaikan.
Teori motivasi menjelaskan bahwa menyontek bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi tertekan dan tidak percaya diri, atau apabila dorongan atau harapan untuk berprestasi jauh lebih besar dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan atau prestasi yang diinginkan dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka akan menimbulkan hasrat untuk menyontek.
d.      Keterikatan pada Kelompok
Siswa yang tergabung didalam kelompok akan merasa ada ikatan yang kuat diantara mereka , yang mengharuskan mereka untuk saling tolong menolong dan berbagi, termasuk dalam menyelesaikan tugas atau tes dan ujian yang sedang dilakukan. Ketertarikan kelompok ini menimbulkan perasaan tanggung jawab siswa secara bersama-sama untuk saling membantu meskipun melanggar aturan dan merugikan.
Ketertarikan pada kelompok ini juga berkaitan dengan konformitas. Yang mana konformitas merupakan suatu bentuk pengaruh sosial, dimana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan norma sosial. Konformitas ini juga dapat diartikan sebagai perilaku mengikuti pendapat teman-teman sebaya.
Jadi, karena siswa ingin diterima oleh teman-temannya di dalam kelompok maka mereka akan melakukan apa yang diminta di kelompok termasuk dalam bekerja sama di saat ujian. Selain itu siswa juga takut akan diasingkan atau di jauhi oleh teman-temannya kerena dianggap tidak kompak.
Siswa yang sering mengalami ini adalah siswa yang berada pada usia remaja yang mana remaja sedang berada pada proses pencarian identitas diri. Remaja cenderung akan mengikuti apa yang diinginkan oleh teman sebayanya agar tidak di jauhi.
Menurut Garrison (Andi Mapiare, 1982; dalam Sarlito Wirawan Sarwono, 2012:160) bahawa kebutuhan khas dari remaja diantaranya yaitu kebutuhan akan keikutsertaan dan diterima di dalam kelompok, kebutuhan akan pengakuan dari orang lain, dan kebutuhan untuk di hargai. Berbagai kebutuhan remaja tersebut dapat membuat remaja ingin diakui dan diterima oleh kelompok walaupun bagaimana caranya, seperti menyontek.
e.       Keinginan akan Nilai Tinggi
Siswa juga di dorong oleh keinginan untuk mendapatkan nilai tinggi yang merupakan gejala yang juga dapat menyebabkan perilaku menyontek.
Siswa yang berfikir bahwa nilai adalah segalanya akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang baik. Siswa berfikir bahwa dengan mendapatkan nilai yang baik maka mereka akan mendapatkan masa depan yang lebih baik.
Siswa yang menyontek berfikiran bahwa akan lebih mudah menggapai cita-cita di masa yang akan datang jika mereka tidak gagal dalam mengahadapi ujian atau pekerjaan yang diberikan.
Pendidikan di Indonesia juga menggunakan nilai sebagai hasil evaluasi belajar siswa yang mengakibatkan masyarakat memandang bahwa prestasi belajar hanya dari pencapaian nilai yang tinggi dan bukan pada prosesnya. Hal ini juga dapat mendorong siswa untuk mendapatkan nilai tinggi. Disaat ujian ada kemungkinan siswa untuk mengalami kegagalan. Untuk menghindari kegagalan tersebut siswa menggunakan cara menyontek agar mendapatkan nilai yang tinggi.
f.       Pikiran Negatif
Pikiran negatif ini seperti ketakutan dikatakan bodoh dan di jauhi oleh teman-teman, ketakutan dimarahi oleh orang tua dan guru, dan pemikiran negatif lainnya.
Jika seorang siswa mengetahui bahwa jika nilai yang diperoleh jelek atau di bawah standar rata-rata kelas maka dia akan mendapatkan cap atau label sebagai anak bodoh dan di jauhi oleh teman-temannya sehingga timbullah gejala menyontek pada siswa tersebut.
Indikasi munculnya perilaku menyontek juga dapat diawali dengan adanya hubungan yang tidak baik antara siswa dengan orang tua. Orang tua yang memberikan dorongan dan kepercayaan kepada siswa akan dapat meminimalisir perilaku menyontek. Hal ini terjadi karena tidak adanya rasa tertekan dan rasa takut siswa terhadap orang tuanya.
g.      Harga Diri dan Kendali Diri
Siswa dengan harga diri yang tinggi dan berlebihan juga memilih untuk melakukan perbuatan menyontek. Menyontek ini bertujuan untuk menjaga agar harga dirinya tetap terjaga dengan mendapatkan nilai yang tinggi meskipun dilakukan dengan cara yang salah.
Selain itu, siswa yang menyontek juga menunjukkan adanya gejala pengendalian diri yang rendah. Seseorang yang memiliki pengendalian diri yang baik akan memperkecil kemungkinan untuk menyontek. Hasil penelitian Abdullah Alhadza di PPs UNJ mengungkapkan bahwa alasan pertama kenapa mahasiswa menyontek karena terpengaruh setelah melihat orang lain menyontek meskipun pada awalnya tidak ada niat melakukannya.
h.      Perilaku Impulsive dan Cari Perhatian
Ketika individu memiliki kebutuhan untuk melakukan sensasi, mereka akan melakukan eksperimen, dan terkadang pada perbuatan yang mengandung risiko seperti menyontek. Kebutuhan sensasi merupakan perubahan evolusi individu untuk tetap bertahan hidup (Zuckerman, 1994; Anderman, 2007).
Di dalam memahami perilaku menyontek sering muncul dua buah pendekatan, yaitu pendekatan impulsif dan pendekatan sensasi. Siswa yang diakatakan impulsive jika ia membuat keputusan lebih banyak didasarkan pada dorongan dibandingkan memikirkan alasan. Dorongan tersebut merupakan dorongan agar mendapat keuntungan bagi dirinya sendiri. Sedangkan siswa yang memiliki kebutuhan akan sensasi yang berlebihan ketika siswa sedang tumbuh dan berkembang dutunjukkan dengan melakukan perbuatan menyontek karena tindakan tersebut dianggap bersifat alami sehingga harus diikuti untuk dapat terus bertahan hidup.
2.      Bentuk-bentuk Menyontek
Berkenaan dengan bentuk-bentuk menyontek, Hetherington and Feldman (1964; dalam Dody Hartanto, 2012:17) mengelompokkan perilaku menyontek ke dalam empat bentuk, yaitu:
Individual-opportinistic yang dimaknai sebagai perilaku dimana siswa mengganti suatu jawaban ketika ujian atau tes sedang berlangsung dengan menggunakan catatan ketika guru keluar dari kelas. Independent-planned yang diidentifikasikan sebagai menggunakan catatan ketika tes atau ujian berlangsung, atau membawa jawaban yang telah lengkap atau dipersiapkan dengan menulisnya terlebih dahulu sebelum berlangsungnya ujian. Social-active yang merupakan perilaku dimana siswa mengcopi atau melihat atau meminta jawaban dengan orang lain. Social-passive adalah mengizinkan seseorang melihat atau mengcopi jawaban.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dody Hartanto (2010) kepada siswa di salah satu sekolah swasta di kota Yogyakarta diketahui bahwa bentuk perilaku menyontek yang paling dominan adalah social active. Pada kegiatan menyontek tersebut siswa lebih banyak memilih cara berupa melihat jawaban teman pada saat tes berlangsung. Bentuk lainnya seperti meminta jawaban kepada teman, baik melalui pemberian kode nonverbal maupun dengan tulisan.
Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Friyatmi (2011) pada mahasiswa FE UNP juga ditemukan bentuk perilaku menyontek yang paling dominan dilakukan oleh mahasiswa tersebut, yaitu menyalin jawaban teman dan mengizinkan teman menyalin jawaban mereka.
Menurut Dody Hartanto (2012:37) bentuk dari perilaku menyontek diantaranya (a) menggunakan bahan yang tidak sah pada setiap kegiatan akademik, (b) membuat informasi, referensi atau hasil dengan menipu orang lain, (c) plagiat, dan (d) membantu orang lain untuk terlibat dalam perilaku menyontek.
Perilaku menyontek yang dilakukan oleh siswa dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Menyontek dengan usaha sendiri (seperti membuat catatan sendiri, membuka buku saat ujian, membuat coret-coretan di kertas kecil, rumus di tangan, dikerah baju dan bisa juga dengan cara mencuri jawaban teman).
b.      Menyontek dengan kerjasama (seperti membuat kesepakatan terlebih dahulu dan membuat kode-kode tertentu atau meminta jawaban dari teman).
Dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih pada zaman sekarang ini maka timbul bentuk perilaku menyontek yang baru akibat kecanggihan teknologi. Hal ini seperti menggunakan kalkulator, memfoto materi yang akan diujiankan dengan kamera hand phone, membuka internet dengan hand phone ketika ujian sedang berlangsung, smsan dengan teman, dan lain sebagainya. Hal ini dibuktikan dengan temuan hasil penelitian yang dilakukan oleh McCabe (2001) di sebuah SMP swasta di Yogyakarta yang mana terdapat 74 % siswa pernah menggunakan dan memanfaatkan teknologi untuk menyontek.
Jadi dapat disimpulkan bentuk-bentuk perilaku menyontek antara lain:
a.       individual-opportinistic,
b.      independent-planned,
c.       social-active,
d.      social-passive,
e.       melihat jawaban teman pada saat tes berlangsung,
f.       meminta jawaban kepada teman,
g.      mengizinkan teman menyalin jawaban,
h.      menggunakan bahan yang tidak sah pada setiap kegiatan akademik,
i.        plagiat,
j.        membantu orang lain untuk terlibat dalam perilaku menyontek,
k.      membuat catatan sendiri,
l.        membuka buku saat ujian,
m.    membuat coret-coretan di kertas kecil, rumus di tangan, di kerah baju,
n.      mencuri jawaban teman, dan
o.      menggunakan dan memanfaatkan teknologi.
C.     Penyebab Perilaku Menyontek
Faktor-faktor umum yang menyebabkan terjadinya perilaku menyontek (Hutton, 2006; Donald P. French, 2006; dalam Dody Hartanto, 2012:31-32) adalah
§  Adanya kemalasan pada diri seseorang.
§  Karena merasa cemas.
§  Melihat perilaku menyontek bukan merupakan hal yang yang salah dan merugikan.
§  Memiliki keyakinan bahwa perilakunya tidak akan diketahui.
Faktor menyontek dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1.      Faktor Internal
a.       Tingkat Kecerdasan yang Rendah
Tingkat kecerdasan juga berpengaruh terhadap seseorang untuk menyontek walaupun hanya sedikit. Siswa yang memiliki tingkat kecerdasan yang rendah akan lebih mudah terjebak dalam permasalahan menyontek.
Pada pelajaran tertentu siswa dituntut untuk menggunakan kemampuan kognitifnya. Seperti mata pelajaran Matematika yang kebanyakan siswa tidak menyukainya. Siswa yang mempunyai tingkat kecerdasan yang baik akan dapat menyelesaikan tugas-tugas dengan mudah. Sebaliknya, siswa yang memiliki kecerdasan yang rendah akan merasa sangat terbebani atau bisa saja menjadi tersiksa karena tidak sanggup untuk mengerjakannya. Akibatnya siswa yang memiliki kecerdasan rendah melakukan tindakan yang tidak terpuji yaitu dengan menyontek untuk menyelesaikan tugas tersebut.
Tingkat kecerdasan juga berhubungan dengan kempuan seseorang untuk mengingat sesuatu. Siswa yang memiliki ingatan yang rendah, maka akan sulit baginya untuk mengingat apa yang sudah dipelajarinya ketika akan ujian.
Mengingat adalah menyimpan hal-hal yang sudah pernah diketahui untuk dikeluarkan dan pada saat lain digunakan kembali (Sarlito W Sarwono, 2012:115). Proses penyimpanan yang dilakukan adalah upaya kita mengodekan, menyimpan, dan mengeluarkan kembali informasi (Sarlito W Sarwono, 2012:115). Bagi siswa yang tidak mampu mengingat apa yang telah ia pelajari ketika sedang ujian berarti siswa tersebut tidak mampu mengeluarkan kembali informasi yang telah tersimpan. Atau mungkin siswa tidak ingat karena sudah ada hal-hal baru yang dia alami sehingga tidak mampu mengingat hal yang sebelumnya. Kalau kita mempelajari hal yang baru, mungkin hal-hal yang sudah kita ingat, tidak dapat kita ingat lagi (Sarlito W Sarwono, 2012:120). Keadaan ini juga memicu seorang siswa untuk menyontek.
b.      Tidak Adanya Motivasi Berprestasi
Menurut Suryadi Suryabrata (1984; dalam Djaali, 2011:101), motivasi adalah suatu keadaan yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas tertentu guna pencapaian suatu tujuan. Motivasi juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi fisiologis dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan (kebutuhan).
McClelland (1976, dalam Djaali, 2011:103) mengemuka- kan bahwa kebutuhan hidup manusia terdapat tiga macam kebutuhan yang salah satunya merupakan kebutuhan untuk berprestasi.
Motivasi berprestasi merupakan adalah kondisi fisiologis dan psikologis (kebutuhan untuk berprestasi) yang terdapat di dalam diri siswa yang mendorong untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan tertentu (berprestasi setinggi mungkin).
Siswa yang memilki motivasi berprestasi yang tinggi maka akan terdorong untuk mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya berdasarkan standar keunggulan. Sedangkan siswa dengan motivasi berprestasi yang rendah akan mengerjakan tugas dengan asal-asalan saja dan bahkan menyuruh orang lain untuk mengerjakannya serta ada kemungkinan siswa tersebut akan menyontek tugas temannya yang sudah selesai.
c.       Sikap Belajar
Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak berkenaan dengan objek tertentu (Djaali, 2011:144). Sedangkan belajar merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan akademik.
Sikap belajar dapat diartikan sebagai kecenderungan perilaku seseorang tatkala ia mempelajari hal-hal yang bersifat akademik. Sikap belajar ini berkaitan dengan bagaimana siswa menerima ataupun menolak suatu tujuan yang ingin dicapai, materi yang disajikan, praktik, tugas, dan persyaratan yang ditetapkan sekolah.
Apabila seorang siswa merasa tidak senang dengan suatu mata pelajaran maka dia akan bersikap tidak menerima pelajaran tersebut. Sikap inilah yang nantinya akan mempengaruhi proses dan hasil belajar yang dicapainya. Untuk menghindari hasil belajar yang rendah pada pelajaran tersebut, maka siswa terdorong untuk menyontek ketika mengerjakan tugas maupun di saat ujian.
d.      Self-efficacy (Keyakinan Diri) yang Rendah
Self-efficacy merupakan keyakinan seseorang akan kemampuan dirinya sendiri. Seorang siswa yang mempunyai keyakinan diri yang baik akan mempu menampilkan kemampuan terbaiknya dalam menyelesaikan tugas yang diberikan di sekolah dan mampu mengatasi hambatan untuk mencapai suatu tujuannya.
Siswa yang akan menghadapi ujian akan lebih baik jika ia memiliki self-efficacy yang tinggi, karena di dalam ujian yang diutamakan sekali adalah kinerja siswa untuk menjawab soal ujian tersebut. Siswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan mampu merasa, memotivasi diri, berfikir dan berperilaku selama ujian maupun dalam hal yang lain yang berkenaan dengan belajar.
e.       Self-concep (Konsep Diri) yang Rendah
Self-concep (konsep diri) adalah pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri yang menyangkut apa yang ia ketahui dan rasakan tentang perilakunya, isi pikiran dan perasaannya, serta bagaimana perilakunya tersebut berpengaruh terhadap orang lain (Djaali, 2011:129-130).
Konsep diri sangat erat kaitannya dengan prestasi. Siswa yang memiliki konsep diri yang rendah disebut juga dengan siswa underachiever, yang mana siswa ini memiliki penilaian diri yang rendah, lebih suka menarik diri dari berbagai tantangan dan pergaulan dan bahkan merasa terisolir dibandingkan siswa yang lainnya. Karena keadaan inilah siswa yang memiliki konsep diri rendah terdorong untuk menyontek.
f.       Berada pada Kondisi Underpressure
Kondisi underpressure merupakan kondisi dimana apabila dorongan atau harapan untuk berprestasi jauh lebih besar dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan untuk berprestasi dan semakin rendah potensi yang dimiliki seorang siswa maka akan semakin mendorong siswa untuk menyontek. Pada siswa yang seperti ini biasanya hanya menunggu kesempatan atau peluang saja untuk menyontek, karena hanya dengan menyontek dia dapat memperoleh prestasi yang tinggi.
g.      Keinginan untuk Mendapat Nilai Tinggi
Pada dasarnya setiap siswa ingin mendapatkan nilai yang tinggi (baik). Untuk mencapai keinginan tersebut terkadang siswa menghalalkan segala cara termasuk salah satunya menyontek.
Siswa yang berorientasi untuk mendapat nilai yang tinggi berpandangan bahwa nilai akan menjamin masa depan yang lebih baik dan dapat dengan mudah menggapai apa yang sudah di cita-citakan.
Menurut Eric M. Anderman dan Tamera B. Murdock (2007; dalam Dody Hartanto, 2012:5) berdasarkan prespektif motivasi, beberapa siswa menyontek karena mereka sangat fokus pada nilai atau ranking di kelas, yang lain menyontek karena mereka sangat takut pada kesan yang akan diberikan oleh teman sebaya mereka pada dirinya ( yakni dianggap bodoh dan di jauhi). Hal inilah yang merupakan penyebab beberapa siswa terdorong untuk menyontek.
h.      Tidak Adanya Usaha untuk Belajar
Tugas atau pekerjaan tidak dapat diselesaikan tanpa adanya usaha, daya, dan tenaga. Semakin sulit tugas semakin banyak pula tenaga yang diperlukan untuk mengerjakan tugas (Djaali, 2011:121)
Siswa yang suka menyontek merupakan siswa yang termasuk sedikit sekali usahanya dalam belajar bahkan tidak belajar sama sekali, akan tetapi mereka tetap saja menginginkan nilai yang baik.
i.        Penilaian Tentang Menyontek
Siswa menilai bahwa menyontek merupakan perilaku yang sudah biasa dan wajar dilakukan. Hal ini terjadi karena mereka melihat teman-teman yang menyontek tidak pernah mendapatkan hukuman.
Menyontek juga dinilai sebagai perbuatan yang bukan merupakan perbuatan dosa dan tidak melanggar kode etik.
Remaja cenderung lebih tertarik untuk menyontek. Hal ini dikemukakan oleh Dody Hartanto (2012:2), yaitu:
Pada kasus menyontek, siswa yang masih memasuki usia remaja menganggap bahwa menyontek merupakan hal yang tidak menyalahi aturan karena adanya tekanan untuk mencapai nilai yang baik untuk dapat di terima di jenjang sekolah yang lebih tinggi serta menunjang keberhasilan kehidupan sosial dan ekonomi di masa yang akan datang.
j.        Sering Menunda-nunda Pekerjaan
Kebiasaan merupakan cara bertindak yang diperoleh melalui belajar berulang-ulang, yang pada akhirnya menjadi menetap dan bersifat otomatis. Sedangkan kebiasaan belajar diartikan sebagai suatu cara atau teknik yang menetap pada diri siswa pada waktu menerima pelajaran, membaca buku, mengerjakan tugas, dan pengaturan waktu untuk menyelesaikan kegiatan.
Sering menunda-nunda pekerjaan merupakan kebiasaan belajar yang tidak baik. Karena dengan sering menunda-nunda pekerjaan maka seorang siswa tidak akan memiliki kesiapan dalam mengahadapi tugas dan ujian yang diberikan oleh guru. Sehingga jalan pintas yang digunakan adalah dengan cara menyontek untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
k.      Keberanian Menyontek
Seorang siswa yang sudah terbiasa menyontek, maka tidak akan ada lagi rasa takut untuk melakukannya. Mereka tidak takut apabila ketahuan menyontek  oleh guru ataupun pengawas ujian.
Berkenaan dengan keberanian menyontek, siswa laki-laki lebih berani menyontek dibandingkan dengan siswa perempuan. Menurut Dody Hartanto (2011:7) perilaku menyontek lebih banyak dilakukan oleh laki-laki karena perempuan lebih memiliki standar moral yang tinggi dibandingkan dengan laki-laki.
l.        Keinginan untuk Menghindari Kegagalan
Siswa yang ingin menghindari kegagalan melakukan berbagai cara agar tidak gagal. Kegagalan tersebut muncul ke dalam bentuk rasa takut seperti takut tidak naik kelas, takut mengikuti ulangan susulan, takut dimarahi guru, takut diasingkan oleh teman, dan takut dimarahi orang tua. Sehingga untuk menghindari kegagalan siswa memilih untuk menyontek.
m.    Cara Belajar yang Tidak Baik
Cara belajar yang tidak baik ini juga termasuk manajement waktu di dalam belajar. Siswa yang tidak mampu mengelola waktu belajar dengan baik maka akan dapat terjebak dalam perilaku menyontek.
Siswa yang berada pada usia remaja cenderung memiliki sifat malas dan tidak disiplin di dalam belajar, hal ini dikarenakan mereka sibuk untuk mencari identitas dirinya.  Menurut Mohammad Ali (2012:179), karena dipengaruhi oleh upaya pencarian identitas diri yang kuat menyebabkan remaja seringkali lebih senang mencari kegiatan-kegiatan selain belajar sehingga sering ditemui remaja yang malas dan tidak disiplin dalam belajar.
Dalam konteks belajar, gejala negatif yang terjadi pada remaja adalah kurang mandiri dalam belajar yang berakibat pada gangguan mental setelah memasuki perguruan tinggi (Soewandi, 1993: 186), kebiasaan belajar yang kurang baik yaitu tidak tahan lama dan baru belajar setelah menjelang ujian (lutfi, 1992: 102), membolos, menyontek, dan mencari bocoran soal ujian (Engkoswara, 1987:13), merupakan penyebab seorang remaja untuk menyontek (Dody Hartanto, 2012:107).
n.      Mempunyai Moral yang Rendah
Santrock dan Yusen (1977; dalam Elida Prayitno, 2006:100) mengemukakan bahwa moral adalah kebiasaan atau aturan yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Dengan kata lain, moral merupakan perangkat aturan yang menyangkut baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, benar atau salah yang harus dilaksanakan dalam kehidupan sosial (Elida Prayitno, 2006:100).
Perilaku menyontek berkaitan dengan aspek moral karena dianggap sebagai perbuatan yang mengarah pada indikasi ketidakjujuran. Siswa yang menyontek menganggap bahwa menyontek akan dimaafkan dan dinggap sebagai hal yang biasa, karena mereka dituntut untuk mendapatkan nilai yang tinggi agar dapat diterima di sekolah lanjutan yang lebih tinggi.
Menyontek dapat juga terkait dengan pembentukan kode moral. Menurut teori perkembangan moral Kohlberg, perilaku menyontek lebih terkait dengan masalah pembentukan Kode Moral (Dody Hartanto, 2012:5). Siswa yang sudah tertanamkan moral yang baik pada dirinya, maka dia akan bisa menghindari perilaku menyontek.
2.      Faktor Eksternal
a.       Orang Tua
1)      Tuntutan yang Berlebihan dari Orang Tua
Tuntutan orang tua supaya anaknya dapat nilai tinggi juga dapat mempengaruhi seorang siswa untuk menyontek. Menyontek dikarnakan adanya tuntutan yang tinggi dari orang tua agar anak mereka mendapatkan hasil terbaik (ranking) di kelas (Dody Hartanto, 2012:5).
Salah satu faktor menyontek menurut Schab (dalam Klausmeier, 1985:388) adalah adanya tuntutan dari orang tua kepada anaknya untuk memperoleh nilai yang baik karena orang tua banyak yang menganggap nilai akademis sama dengan kemampuan.
Orang tua menuntut anak supaya mendapatkan nilai baik tanpa berpikir sejauh mana pelajaran telah dikuasai oleh anaknya. Bagi anak yang memiliki kemampuan yang rendah, maka akan mudah terjerumus untuk menyontek.
2)      Pola Asuh Orang Tua
Sebagian dari orang tua ada yang memakai pola asuh otoriter, hal ini dapat berdampak negatif pada kepribadian anak. Anak yang berasal dari orang tua yang otoriter cenderung menarik diri, depresi dan tidak percaya diri.
Jika anak suka menarik diri, depresi dan tidak percaya diri maka itu akan mendorong anak untuk menyontek karena merasa tidak mampu untuk mengerjakan ujian maupun tes yang lainnya.
Orang tua yang bermaksud untuk membantu anaknya dalam mengerjakan PR agar meringankan anak di dalam mengerjakan tugas sekolah juga tidak akan berdampak baik bagi anak. Kebiasaan untuk dibantu mengerjakan PR akan terus melekat dan pada akhirnya membuat kemandirian anak rendah sehingga anak tidak terbiasa dengan tantangan (Dody Hartanto, 2012:4).
Keluarga merupakan lingkungan yang dapat mempengaruhi remaja, salah satunya dalam pembentukan identitas dirinya. An adolescent's knowledge of his family's social status is a significant element in his awareness of his own identity (Jersild Artur T, 1965:288). Pengetahuan remaja tentang status sosial keluarganya adalah elemen penting dalam kesadaran akan identitas diri sendiri. Apabila remaja mempunyai identitas diri yang tidak bagus, maka remaja akan terdorong untuk menyontek.
b.      Guru
1)      Guru yang Memperlakukan Siswa dengan Tidak Adil
Guru yang sering memperlakukan siswa secara tidak adil juga akan menyebabkan siswa untuk menyontek. Siswa akan merasa bahwa dirinya di benci dan tidak disukai oleh gurunya.
2)      Guru Membiarkan Siswa Menyontek
Kebanyakan guru membiarkan siswa menyontek di dalam ujian. Bahkan ada guru yang menunjukkan jawaban soal ujian kepada siswa.
Peterson dan Seligman (2004, dalam Dody Hartanto, 2012:42) menyatakan bahwa menyontek pada siswa terjadi karena guru membiarkan siswa dan tidak mengawasi dengan baik.
3)      Guru tidak mempersiapkan proses belajar mengajar dengan baik sehingga yang terjadi tidak ada variasi dalam mengajar dan pada akhirnya murid menjadi malas belajar.
4)      Guru terlalu banyak melakukan kerja sampingan sehingga tidak ada kesempatan untuk membuat soal-soal yang variatif.
5)      Soal yang diberikan selalu berorientasi pada hafal mati dari text book.
6)      Tidak ada integritas dan keteladan dalam diri guru berkenaan dengan mudahnya soal diberikan kepada pelajar dengan imbalan sejumlah uang.
c.       Teman Sebaya
Teman sebaya di sekolah memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku menyontek. Bagi siswa yang tidak mau membantu ataupun memberi jawaban dan tidak mengikuti perilaku menyontek maka biasanya akan dijauhi oleh teman-temannya. Karena tidak ingin di jauhi oleh teman-temannya maka siswa terpaksa untuk menyontek.
Siswa remaja akan lebih mudah terjerumus ke dalam perilaku menyontek. Remaja sangat terikat oleh kelompok teman sebaya terutama di sekolah.
d.      Kurangnya Pencegahan dari Sekolah
Peraturan sekolah yang longgar terhadap perilaku menyontek akan semakin membuat siswa tidak akan berhenti menyontek. Mereka merasa tidak melanggar aturan tata tertib sekolah karena tidak adanya sangsi yang di berikan oleh sekolah terhadap siswa yang menyontek.
e.       Terlalu Banyak Tugas yang Diberikan di Sekolah
Terkadang siswa diberikan tugas-tugas sekolah yang harus diselesaikan dalam waktu yang bersamaan. Hal tersebut membuat siswa tidak mampu membagi waktunya untuk mengerjakan tugas-tugasnya. Akhirnya dipilihlah jalan pintas (menyontek) supaya tugas itu dapat terselesaikan tepat waktu.
f.       Kondisi
Siswa yang menyontek juga dapat diinterpretasikan bahwa mereka menyontek bukan karena naluri mereka tidak bekerja ketika membedakan menyontek itu salah atau benar, akan tetapi siswa kadang kala berada pada situasi yang menuntut dirinya untuk menyontek.
Kondisi yang dapat mendorong siswa menyontek seperti soal ujian yang terlalu sulit, banyaknya soal ujian dan waktu yang diberikan tidak cukup untuk menjawab semua soal, materi yang diajarkan tidak sesuai dengan materi yang diujiankan, serta pengawasan ujian yang longgar.
g.      Status Ekonomi dan Sosial
Status ekonomi dan sosial diketahui juga dapat menyebabkan seseorang menyontek. Calabrese dan Cochran (1990; dalam Anderman & Murdock, 2007; dalam Dody Hartanto, 2012:43) menemukan bahwa siswa dari sekolah swasta dilaporkan lebih sering menyontek dibandingkan dengan siswa di sekolah negeri. Siswa yang tinggal di daerah perkotaan juga di ketahui lebih banyak yang melakukan perilaku menyontek dibandingkan dengan siswa yang tinggal di derah pedesaan.
D.    Dampak Perilaku Menyontek
1.      Perilaku menyontek dapat mendidik siswa untuk berbohong
Menyontek merupakan termasuk perilaku berbohong baik pada diri sendiri maupun orang lain. Siswa yang sudah terbiasa menyontek akan terbiasa untuk berbohong tidak hanya ketika ujian namun juga dapat terbawa-bawa dalam kehidupan sehari-hari.
Menyontek dapat mengikis pribadi jujur dalam diri seorang pelajar, dapat menghambat seorang pelajar mengoptimalkan kemampuannya dalam belajar dan memperoleh hasil belajar.
Sommers dan Sattel (2005 dalam Paris S. Strom; Robert D. Strom: 2007; dalam Dody Hartanto, 2012:5) menyatakn bahwa menyontek terjadi karena adanya erosi perilaku, di mana siswa lebih mementingkan membantu teman-teman mereka dalam mengerjakan tugas dan ujian. Hal ini juga dapat membuat siswa terbiasa untuk berbohong karena mereka lebih mengutamakan untuk membantu teman di dalam ujian.
2.      Siswa tidak menghargai proses belajar
Siswa yang hanya mengandalkan menyontek ketika ujian, di dalam belajar siswa tersebut hanya akan bermain-main saja karena bagi mereka yang penting adalah hasil ujian dan proses belajar tidak penting.
3.      Melahirkan koruptor, penipu, plagiator, dan penjahat yang menghalalkan segala cara
Karena menyontek dapat mengikis kejujuran dan mendidik siswa untuk berbohong serta hal tersebut sudah tertanam di dalan diri siswa, maka akan melahirkan pekerjaan-pekerjaan yang tidak baik, seperti koruptor, penipu, plagiator, dan penjahat yang menghalalkan segala cara.
4.      Tidak mau berusaha sendiri dan selalu mengandalkan orang lain
Ketergantungan adalah suatu keadaan di mana seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya menggantungkan bantuan pihak lain (Hartono dan Boy Soedarmadji, 2013:88). Di dalam belajar, masalah ini dapat menimbulkan penurunan kemampuan peserta didik atau mahasiswa untuk mengerjakan tugas-tugasnya, sehingga usaha belajarnya menjadi rendah.
Siswa yang menyontek biasanya menggantungkan dirinya kepada orang lain, hal ini dapat mengakibatkan siswa tidak mau berusaha sendiri dan selalu mengandalkan orang lain dalam berbagai hal.
5.      Malas belajar, malas berpikir dan merenung, malas membaca dan tidak suka meneliti.
Karena setiap ujian sudah terbiasa tidak belajar sebelum menempuh ujian, maka lama-kelamaan akan memunculkan perilaku malas belajar, malas berpikir, malas membaca dan tidak suka meneliti.
6.      Membodohi diri sendiri
Menyontek termasuk perilaku yang dapat membodohkan diri sendiri. Seorang siswa yang suka menyontek tidak akan memahami materi pelajaran dan menyontek juga berarti berbohong pada diri sendiri, hal tersebut akan membuat siswa membodohi dirinya sendiri.
7.      Mempunyai kepercayaan diri yang rendah
Siswa yang menyontek ketika ujian biasanya tidak memiliki rasa percaya diri ketika menjawab soal-soal ujian sehingga lebih memilih untuk menyontek. Karena terus-menerus menyontek maka siswa tersebut semakin merasa bahwa dia tidak percaya diri di dalam ujian maupun tes yang lainnya.

BAB III
UPAYA PENANGGULANGAN PERILAKU MENYONTEK
A.    Diri Sendiri
a.       Bangkitkan Rasa Percaya Diri (Self-efficacy)
Dengan membangkitkan rasa percaya diri, seorang siswa akan mampu untuk mandiri dan tidak tergantung pada orang lain. Siswa yang menyontek biasanya akan terbiasa untuk bergantung pada orang lain. Oleh karena itu untuk mengurangi kebiasaan menyontek, seorang siswa harus dapat meningkatkan rasa percaya dirinya.
Jika siswa sudah memiliki rasa percaya diri yang tinggi maka dia akan percaya akan kemampuan dirinya ketika menjawab soal-soal ujian. Seorang siswa yang memiliki self-efficacy  yang baik, ketika dalam menghadapi ujian akan memiliki pengharapan akan nilai yang bagus dan hasil yang memuaskan dengan mempersiapkan diri sebelum dilakukannya ujian.
b.      Arahkan Self-consept ke Arah yang Lebih Proporsional
Jika seorang siswa sudah memiliki konsep diri yang positif, maka dia akan dapat mengontrol dirinya agar tidak menyontek ketika ujian maupun tes lainnya. Siswa yang memiliki konsep diri yang positif berarti dia sudah mampu mengenal diri dan potensi-potensi yang dapat dikembangkan baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Hal tersebut dapat membuat siswa mampu menentukan tujuan yang realistis dan lebih mudah mencapai prestasi yang optimal.
Hubungan antara tingginya konsep diri yang dimiliki seorang siswa dengan intensi siswa menyontek sudah dibuktikan oleh Uni Setyani (2007:80) bahwa pada siswa di SMA Negeri 2 Semarang, sebanyak 21,5% siswa menyontek karena konsep diri yang rendah.
Konsep diri yang dimiliki seseorang juga dipengaruhi oleh lingkungannya terutama teman sebaya di sekolah. Interaksi antara teman sebaya akan memunculkan adanya penerimaan atau penolakan sosial. Penilaian tersebut akan memberikan pandangan kepada individu mengenai peranannya dalam lingkungan sosial.
Pudjijogjanti (1985:26; dalam Uni Setyani, 2007:75) menyatakan bahwa siswa memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam memahami dan melaksanakan tugas-tugas sekolah. Bentuk pendekatan yang dilakukan siswa untuk memahami dan melaksanakan tugas dipengaruhi oleh pandangan siswa pada diri dan lingkungannya, yang berarti konsep diri berperan penting dalam menentukan kualitas dan kuantitas belajar siswa dalam usahanya meraih prestasi.
c.       Biasakan Berpikir Lebih Realistis dan Tidak Ambisius
Di dalam belajar maupun ujian hendaknya seorang siswa tidak hanya mementingkan tujuan akan nilai yang tinggi dan prestasi yang baik saja. Di dalam belajar yang diharapkan terhadap siswa adalah mampu menguasai apa yang di pelajari bukan hanya berorientasi pada hasil akhirnya.


B.     Orang Tua
Menurut Hurlock (1999:132; dalam Uni Setyani, 2007:76) pandangan orang tua tentang kemampuan dan prestasi anak akan mempengaruhi cara pandang anak terhadap dirinya. Orang tua yang terlalu mengaharapkan anaknya mendapatkan prestasi yang baik akan mempengaruhi anak untuk memperoleh nilai yang baik bagaimanpun caranya, termasuk menyontek.
Orang tua hendaknya mengenali potensi dan kemampuan anaknya. Jika anak kemampuan yang rendah jangan terlalu menuntut anak untuk mendapatkan nilai tinggi.
Orang tua hendaknya juga senantiasa menciptakan lingkungan psikologis yang mampu mempertahankan terwujudnya kosep diri positif dengan memberi penghargaan terhadap prestasi yang sudah diraih anak.
Orang tua diharapkan agar tidak mematok atau memberi target nilai yang harus didapatkan oleh anak. Orang tua hendaknya memberikan perhatian dan mengontrol proses belajar anak, memberi pengertian dan motivasi pada anak tentang pentingnya proses belajar sehingga anak tidak berorientasi pada hasil atau nilai sehingga dapat meminimalisir intensi menyontek.
Orang tua hendaknya juga tidak menggunakan pola asuh yang otoriter dalam mendidik anak sehingga anak percaya diri di dalam bergaul dan bersosialisasi.


C.     Guru
Guru hendaknya meningkatkan pengawasan dan memberikan hukuman tegas pada siswa yang menyontek sehingga siswa tidak berani mengulangi perbuatannya. Guru juga hendaknya tidak menganggap bahwa menyontek sebagai perbuatan yang wajar, akan tetapi harus menyikapinya dengan serius.
Hal-hal yang perlu dilakukan oleh guru untuk mengurangi intensitas menyontek adalah sebagai berikut:
a.       Membentuk hubungan saling menghargai antara guru dengan siswa, serta menolong siswa bertindak jujur dan tanggung jawab.
b.      Membuat dan mendukung peraturan sehubungan dengan menyontek, karena siswa memahami peraturan dari tindakan guru.
c.       Mengembangkan kebiasaan dan keterampilan belajar yang baik dan menolong siswa merencanakan, melaksanakan cara belajar siswa.
d.      Tidak membiarkan siswa menyontek jika hal tersebut terjadi dalam kelas dengan teguran atau cara lain yang pantas dengan perbuatannya, sebagai penerapan disiplin.
e.       Bertanggung jawab merefleksikan “kebenaran dan kejujuran”, yaitu guru menjadikan diri sebagai teladan siswa dalam menanamkan nilai kebenaran dan kejujuran.
f.       Menggunakan tes subjektif sebagai dasar proses ulangan dan ujian.
g.      Menekankan “belajar” lebih sekedar mendapat nilai, yaitu membantu siswa memahami arti belajar sebagai suatu tujuan mereka sekolah dan nilai akan berarti bila murni dengan kemampuan siswa sendiri.
D.    Sekolah
Berkaitan dengan pelaksanaan ujian, sekolah diharapkan membuat sistem ujian dan menggunakan bentuk soal yang meminimalisir intensi menyontek. Sistem ujian diharapkan memperkecil kemungkinan terwujudnya perilaku menyontek, misalnya dengan mengatur jarak. antar siswa dan membuat soal ujian yang berbeda-beda antar kelas. Sejak siswa mulai masuk, sekolah diharapkan menanamkan pemahaman pada siswa bahwa menyontek merupakan suatu bentuk ketidakjujuran yang dapat berdampak pada aspek kehidupan lain.
Langkah yang perlu dilakukan untuk mengurangi intensitas menyontek adalah dengan mengurangi perilaku ketidaksiapan siswa dalam menyikuti pelajaran, mengurangi perilaku prokrastinasi, dan menghilangkan materi yang mempersulit proses belajar (Whitley, 1998; Anderman, 2007; dalam Dody Hartanto, 2012:45).
McCabe dan Pavela (1997; Linda Klebe Trevino, 2001; dalam Dody Hartanto, 2012:46) mengemukakan 10 prinsip yang harus dilakukan dalam menangani masalah menyontek, yaitu sebagai berikut:
1.      memberikan penegasan atau penguatan tentang pentingnya integritas akademik,
2.      mendorong kecintaan belajar,
3.      memperlakukan siswa sebagai diri mereka sendri,
4.      membantu terciptanya perkembangan lingkungan yang saling percaya,
5.      mendorong tanggung jawab siswa dalam meraih integritas akademik,
6.      melakukan klarifikasi atas harapan siswa,
7.      membuat atau menciptakan bentuk tes yang adil dan relevan,
8.      mengurangi kemungkinan terjadinya ketidakjujuran akademik,
9.      melawan ketidakjujuran akademik yang terjadi, dan
10.  membantu mendefinisikan dan mendukung terciptanya standar integritas akdemik.
Menyontek juga berkaitan dengan pola pikir siswa terhadap perilaku menyontek, jadi berkenaan dengan ini sekolah hendaknya mengubah pola pikir siswa bahwa menyontek merupakan suatu perilaku yang tidak baik, menyontek dapat mengikir kejujuran dan moral seseorang.
E.     Guru BK atau Konselor
Untuk menanggulangi perilaku menyontek, guru BK dapat menggunakan Konseling Kognitif Perilaku (KKP) dan konseling REBT berbasis kelompok.
1.      Konseling Kognitif Prilaku (KKP)
Konseling kognitif perilaku digunakan untuk menangani masalah kecemasan pada siswa. Salah satunya kecemasan yang akhirnya menyebabkan siswa menyontek.
Konseling kognitif perilaku ini berkaitan dengan kognitif (pemikiran) dan perilaku seseorang dalam kehidupan. Filosofi yang digunakan dalam Konseling Kognitif Perilaku adalah perasaan dan perilaku menusia ditentukan oleh bagaimana ia memberi arti (makna) pada setiap kejadian, masalah, dan situasi yang dihadapi (Dody Hartanto, 2012:49). Jadi perilaku manusia dikaitkan dengan bagaimana manusia itu memaknai setiap kejadian di dalam hidupnya.
Menurut Oemaryadi (Mubyar, 2009; dalam Dody Hartanto, 2012:50), teori KKP didasarkan pada pola pembentukan manusia melalui progran Stimulus-Kognisi-Respons (SKR) yang saling terkait dan membentuk jaringan dalam otak, dimana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia merasa, berpikir, dan bertindak.
Tujuan dari Konseling Kognitif Perilaku ini adalah mengoreksi self-belief yang salah atau menyimpang yang mengakibatkan cara berpikir yang tidak rasional yang selanjutnya akan menimbulkan gangguan psikologis. Menurut prespektif keyakinan diri, Konseling Kognitif Perilaku betujuan untuk meningkatkan efikasi diri (self-efficacy) individu (Kalodner, 1995; Ilfiandra, 2008; dalam Dody Hartanto, 2012:51). Berdasarkan teori efikasi diri, individu memiliki harapan untuk berhasil dalam menampilkan perilaku yang khusus dan harapan yang dimiliki itu dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan untuk mencoba perilaku baru dan mempertahankan perubahan perilaku.
Model self-efficacy oleh Albert Bandura merupakan salah satu model Konseling Kognitif Prilaku (KKP) yang sering digunakan. Self-efficacy  dapat diartikan sebagai keyakinan terhadap diri sendiri. Bandura merupakan ahli psikologi yang banyak menulis bahwa faktor sosial-kognitif mempengaruhi belajar dan perubahan perilaku individu.
Berbagai teknik yang digunakan dalam Konseling Kognitif Prilaku oleh Bond (2004; dalam Dody Hartanto, 2012:56) dibagi kedalam tiga kategori, yaitu (a) restrukturisasi kognitif, yang menckup terapi emosi rasional, pengajaran diri, dan terapi kognitif, (b) terapi keterampilan dalam menangani situasi yang meliputi pemodelan tertutup, latihan pengolahan kecemasan, dan suntikan stres, serta (c) terapi pemecahan masalah yang berisikan pemecahan masalah perilaku dan kepercayaan diri.
McLeod (2006; Mubyar, 2009; dalam Dody Hartanto, 2012:57) menyebutkan bahwa beberapa teknik yang dapat digunakan dalam Konseling Kognitif Perilaku, yaitu:
a.       menata keyakinan yang irasional,
b.      bibliotherapy (terapi pustaka), yaitu menerima kondisi emosi internal sebagai sesuatu yang menarik bukannya sesuatu yang menakutkan,
c.       mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri,
d.      mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri,
e.       mengukur perasaan,
f.       menghentikan pikiran,
g.      desensitisasi sistematis,
h.      pelatihan keterampilan sosial,
i.        assertiveness skill training atau pelatihan keterampilan agar dapat bertindak dengan tegas,
j.        pemberian tugas rumah, dan
k.      in vivo exposure, yaitu mengatasi situasi yang menyebabkan masalah dengan memasuki situasi tersebut.

Penggunaan KKP untuk mengurangi intensitas menyontek sudah dibuktikan oleh Mubarok (2009) bahwa menyontek di sekolah dasar memiliki intensitas sedang dan rendah. Penelitian yang lain juga menemukan intensitas menyontek di sekolah menengah pertama yang berada pada kategori sedang dan tinggi.
2.      Konseling REBT Berbasis Kelompok
REBT (Rasional Emotive Behavior Therapy) dulu dikenal sebagai RET (Rational Emotive Therapy). Pendekatan RET lebih ditekankan pada kognisi, perilaku dan aksi yang lebih mengutamakan berpikir, menilai, menentukan, menganalisis dan melakukan sesuatu. George & Crintiani (1990; dalam Hartanto dan Boy Soedarmadji, 2013:131) menyatakan bahwa pendekatan RET ini menekankan pada proses berpikir konseli yang dihubungkan dengan perilaku serta kesulitan psikologis dan emosional.
Berkenaan dengan teknik REBT, menurut Gladding (2004; dalam Dody Hartanto, 2012:60) dapat menggunakan bebagai macam teknik. Dua yang utama adalah mengajari (teaching) dan menantang (disputing). Mengajari menyangkut memberikan pemahaman tentang ide dasar REBT dan memahami bahwa pikiran bertautan dengan emosi dan perilaku. Sedangkan teknik menantang terbagi menjadi tiga, yaitu menantang pemikiran atau keyakina, tantang imajiner, dan tantangan perilaku.
REBT tidak hanya betujuan menghilangkan simtom, tetapi juga membantu orang memeriksa dan mengubah beberapa nilai dasar mereka terutama yang menimbulakan gangguan (Dody Hartanto, 2012:67). Hal ini berkaitan dengan menghilangkan penilaian yang salah oleh siswa terhadap perilaku menyontek.

BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Menyontek merupakan sebuah kecurangan yang dilakukan oleh seseorang dalam mengerjakan tugas dan ujian, baik itu di sekolah, di perguruan tinggi, maupun ditempat yang lainnya dan juga merupakan suatu penipuan atau melakukan perbuatan tidak jujur.
Memnyontek mempunyai gejala-gejala dan bentuk yang bermacam-macam. Gejala-gejala menyontek diantaranya adalah prokrastinasi, self-efficacy yang rendah, kecemasan yang berlebihan, motivasi belajar dan berprestasi yang rendah, keterikatan pada kelompok, keinginan akan nilai tinggi, pikiran negatif, harga diri dan kendali diri yang rendah, serta perilaku impulsive dan cari perhatian. Sedangkan bentuk-bentuk menyontek antara lain, yaitu Individual-opportinistic, Independent-planned, Social-active, Social-passive, melihat jawaban teman pada saat tes berlangsung, meminta jawaban kepada teman, mengizinkan teman menyalin jawaban, menggunakan bahan yang tidak sah pada setiap kegiatan akademik, plagiat, membantu orang lain untuk terlibat dalam perilaku menyontek, membuat catatan sendiri, membuka buku saat ujian, membuat coret-coretan di kertas kecil, rumus di tangan, dikerah baju, mencuri jawaban teman, dan menggunakan dan memanfaatkan teknologi.
Faktor penyebab perilaku menyintek terbagi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internalnya antara lain adalah tingkat kecerdasan yang rendah, tidak adanya motivasi berprestasi, sikap belajar yang tidak baik, self-efficacy (keyakinan diri) yang rendah, self-concep (konsep diri) yang rendah, berada pada kondisi underpressure, keinginan untuk mendapat nilai tinggi, tidak adanya usaha untuk belajar, penilaian tentang menyontek, sering menunda-nunda pekerjaan, keberanian menyontek, keinginan untuk menghindari kegagalan, cara belajar yang tidak baik, dan mempunyai moral yang rendah.
Sedangkan faktor eksternalnya berasal dari orang tua (seperti tuntutan yang berlebihan dari orang tua kepada anaknya agar mendapatkan prestasi yang baik), guru, teman sebaya, kurangnya pencegahan dari sekolah, terlalu banyak tugas yang diberikan di sekolah, kondisi, serta status ekonomi dan sosial.
Adapun dampak-dampak perilaku menyontek antara lain, yaitu:
1.      Perilaku menyontek dapat mendidik siswa untuk berbohong.
2.      Siswa tidak menghargai proses belajar.
3.      Melahirkan koruptor, penipu, plagiator, dan penjahat yang menghalalkan segala cara.
4.      Tidak mau berusaha sendiri dan selalu mengandalkan orang lain.
5.      Malas belajar, malas berpikir dan merenung, malas membaca dan tidak suka meneliti.
6.      Membodohi diri sendiri.
7.      Mempunyai kepercayaan diri yang rendah.
Upaya penanggulanagan perilaku menyontek dapat dilakukan dalam berbagai segi, baik itu dari diri sendiri, orang tua, guru, sekolah, dan guru BK atau konselor. Adapun upaya penanggulangan perilaku menyontek oleh konselor dapat dilakukan dengan menggunakan Konseling Kognitif Perilaku (KKP) dan konseling REBT berbasis kelompok.
B.     Saran
Seorang siswa hendaknya mampu meningkatkan rasa percaya diri dan keyakinan diri bahwa dia mampua untuk menjawab soal ujian maupun mengerjakan tugas tanpa menyotek dari teman maupun menyontek dari yang lainnya.
Orang tua hendaknya juga tidak menuntut secara berlebihan kepada anak untuk mendapatkan nilai yang baik. Karena itu akan membuat anak mengahalalkan segala cara untuk menyenangkan orang tua, seperti dengan cara menyontek. Orang tua juga tidak seharusnya memakai pola asuh yang otoriter terhadap anak, hal ini akan mengakibatkan anak menarik diri dari pergaulan dan tidak mempunyai rasa percaya diri.
Sebagai guru, sebaiknya juga harus melarang siswa untuk tidak menyontek dan tidak seharusnya guru hanya membiarkan siswa menyontek ketika ujian maupun dalam membuat tugas. Jika ada siswa yang menyontek hendaknya diberikan hukuman yang membuat siswa tersebut jera an tidak menyontek lagi. Hal ini juga perlu adanya ketegasan dari sekolah untuk menangani siswa yang menyontek.
Guru BK dan konselor juga harus mampu untuk mencegah siswa agar tidak terjerumus untuk menyontek. Guru BK atau konselor harus mampu membantu siswa agar siswa mempunyai konsep diri yang positif dan rasa percaya diri yang tinggi dan juga membantu agar siswa mampu mengembangkan potensi yang dimiliki.

DAFTAR PUSTAKA
‘Alawiyah, Hasnatul. 2011. Pengaruh Self-efficacy, Konformitas, dan Goal Orientation Terhadap Perilaku Menyontek (Cheating) Siswa Mts Al-Hidayah Bekasi. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Ali, Mohammad. 2012. Psikologi Remaja. Jakarta: PT.Bumi Aksara.

Aryani, Farida. 2013. Studi tentang Faktor-faktor Penyebab Perilaku Plagiat Mahasiswa UNM. Makalah disajikan dalam Forum Ilmiah dan Seminar Internasional Forum FIP-JIP Se-Indonesia, Universitas Negeri Medan, 29-31 Oktober 2013.

Djaali. 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Friyatmi. 2011. “Faktor-faktor Penentu Perilaku Mencontek di Kalangan Mahasiswa Fakultas Ekonomi UNP”. Jurnal Vol. VII No. 2 Th. 2011.

Hartanto, Dody. 2012. Bimbingan dan Konseling Menyontek: Mengungkap Akar Masalah dan Solusinya. Jakarta Barat: Indeks Jakarta.
Hartono & Boy Soedarmadji. 2013. Psikologi Konseling. Jakarta: Kencana.
Jersild, Arthur T. 1965. The Psychology of Adolescence. New York: The Macmillan Company.
Martiana, Septi. 2013. “Budaya Menyontek”. (Online). http://septimartiana.blogspot.com/2013/11/makalah-budaya-menyontek. html diakses 7 Juni 2014).

Prayitno, Elida. 2006. Psikologi Perkembangan Remaja. Padang: Angkasa Raya
Sari, Intan dkk. 2013. “Locus of Control dan Perilaku Menyontek Serta Implikasinya Terhadap Bimbingan dan Konseling (Studi pada Siswa Sekolah Menengah Atas Padang Ganting)”. Jurnal Ilmiah Konseling Volume 2, Nomor 1, Januari 2013.

Sarwono, Sarlito W. 2012.Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Pers.
Setyani, Uni. 2007. Hubungan Antara Konsep Diri dengan Intensi Menyontek pada Siswa SMA Negeri 2 Semarang. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.